Skip to main content

Mantra: Kedudukan dan Fungsinya


Kedudukan dan Fungsi Mantra dalam Masyarakat

kontributor : Ahdi Riyono, S.S., M.Hum  (Pemerhati Budaya Jawa)

Mantra merupakan salah satu jenis sastra lisan yang berkaitan dengan tradisi masyakat Jawa. Sebagai sastra lisan, mantra merupakan salah satu bentuk kebudayaan daerah yang diwariskan dari mulut ke mulut. Mantra sendiri digolongkan ke dalam jenis puisi karena bentuknya yang tetap dan bersajak. Mantra juga merupakan warisan yang turun temurun. Konon dalam masyarakat tradisional, sebuah mantra memiliki kekuatan gaib (daya magis). Dengan mantra ini, alam pikiran manusia berhubungan dengan hal-hal supernatural sehingga dengan membaca mantra itu, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dapat menjadi kenyataan.
Mantra menurut Hasan Shadily dalam Ensiklopedia Indonesia Jilid 4 (1983) adalah rumusan kata-kata atau bunyi yang berkekuatan gaib, diucapkan berirama seperi senandung, digunakan sebagai doa bagi pengucap atau pendengar, yang wajid dihafal tepat kata-katanya untuk menghindari bencana jika terjadi kekeliruan dalam mengucapkannya. Pada umumnya, mantra diucapkan dengan menyeru atau menyebut Allah, nabi-nabi, aulia, arwah cikal bakal atau bunyi kata yang tidak bermakna, seperti hong wilaheng dan lain-lain. Fungsi mantra dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit mendatangkan kebaikan dan celaka, mengusir harimau, mengusir hantu dan sebagainya.
Perbedaan mantra dengan doa menurut Fischer (1980) adalah doa diucapkan dalam rangka kegiatan magis. Doa diucapkan dengan suara keras dan susunan kata-katanya berirama sehingga lebih mudah dihafal dan diingat. Di dalam mantra biasanya terkandung kata-kata yang dirasakan mempunyai daya magis. Kata mantra sering juga dihubungkan dengan japa dan japamantra. Mantra dilafalkan dengan pelan-pelan, bahkan hanya diucapkan dalam batin. Di dalam mantra juga terkandung pesan, sugesti, larangan yang menuju ke suatu titik mistik. Utamanya ke arah memayu hayuning bawana, agar tercipta keindahan dan harmoni manusia dengan sesama, alam semesta dan Tuhan.
macam-macam Mantra
Adapun pembagian jenis mantra ada yang membagi kedalam dua macam saja, yaitu hitam dan putih. Namun bagi masyarakat Jawa Timur khususnya orang using membagi menjadi empat, yaitu magi, (1) hitam (2) merah, (3) kuning, dan (4) putih (Kusnadi, 1993) (Saputra, 2001).
Mantra magi hitam, yaitu mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kejahatan dan digunakan untuk tujuan kejahatan. Magi hitam ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan korbannya meninggal dunia. Contoh magi hitam adalah bantal nyawa, bantal kancing, cekek, sebul dan setan kubur.
Mantra magi merah ialah mantra yang pemakaiannya tidak dilandasi hati nurani, tetapi didorong untuk memenuhi hawa nafsu dengan tujuan agar korban tersiksa batin dan fisiknya. tetapi tidak sampai berakibat fatal sebagaimana pada mantar hitam. Yang tergolong magi merah adalah jaran goyang, siti henar, semut gatel, bantal guling, gombal kobong, dan polong dara.
Mantra magi kuning ialah mantra yang penggunaannya didasari atas ketulusan hati dan maksud baik; biasanya hanya terbatas pada hubungan antar individu. Penggunaan mantra ini bukan hanya disenangi atau dicintai sesama manusia, tetapi juga termasuk binatang. Yang tergolong magi ini antara lain; sabuk mangir, si gandrung mangu-mangu, semar mesem, ambar sari, si kumbang jati, tes putih-tes abang.
Mantra magi putih ialah mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kebaikan dan digunakan untuk tujuan kebaikan. Mantra ini berfungsi untuk menetralisasi praktik mantra magi hitam dan merah., baik untuk penyembuhan, maupun penolak bala. Yang tergolong mantra magi ini adalah semua mantar yang digunakan untuk penyembuhan atau pengobatan dan pencegahan atau penolak bala.

Fungsi Mantra
Mantra sebagai salah satu bentuk folklor mempunyai empat fungsi, salah satunya adalah sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Dalam konteks ini, pranata dimaknai sebagai sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi beserta adat istiadat dan sistem norma yang mengaturnya., serta seluruh perlengkapannya. guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam kehidupan.
Setiap tradisi memiliki pranata sosial sendiri sesuai konteks dinamika budaya yang bersangkutan. Menurut Herusatoto (1985), setiap tradisi atau adat istiadat mempunyai empat tingkatan, yakni: (1) tingkat nilai budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum, (4) tingkat aturan khusus.
Tujuan pemanfaatan mantra merupakan bentuk kompensasi dari ketidakberdayaan orang memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pranata formal. Oleh karena pranata formal tidak mampu menampung konflik-konflik dalam masyarakat, kompensasinya muncul pranata-pranata sosial tradisional yang mampu menyelesaikan konflik-konflik tersebut dengan karakternya masing-masing. (positif-negatif). Hal tersebut akhirnya membudaya dan bahkan diwariskan kepada generas penerus. Hal ini sesuai dengan pendekatan psikologitik yang dinyatakan oleh Sutardja (1996) bahwa secara naluriah suatu kelompok etnik telah memiliki mekanisme dalam menghadapi dan memecahkan problema-problema sosial budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya. Implikasinya dari relevansi secara psikologis ini ialah bahwa manusia memerlukan pegangan batin untuk menghadapi masalah-masalah sosial budaya. Bila mekanisme pegangan batin semacam itu macet., semakin berat masalah yang akan dihadapinya.
Dengan demikian, penilaian bijak terhadap potensi mantra tidak seharusnya dilakukan secara normatif hitam-putih, melainkan harus diposisikan dalam moralitas budaya yang kontekstual.
Mantra Putih Bentuk Kidung
Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Menurut Zoetmulder (1983:142), kidung adalah sejenis puisi jawa pertengahan yang mempergunakan metrum-metrum asli jawa. Misalnya Kidung rumeksa ing wengi, tembang Dandhanggula. Kidung mantra ini diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Karena kedekatannya dengan rakyat membuat Sunan Kalijaga sering dimintai pertolongan untuk mengobati orang sakit, dimintai doa-doa dan tolak bala. Kemudian Sunan Kalijaga memberi mereka doa (mantra) berupa Kidung Rumeksa Ing wengi.(Hariwijaya, 2007).
Inti laku pembacaan mantra ini adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian, kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai Fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain: penyembuhan segala macam penyakit, pembebas pageblug, mempercepat jodoh bagi perawan tua, penolak bala di malam hari, seperti teluh, santet, hama, dan pencuri, menang dalam perang, memperlancar cita-cita luhur dan mulia.
Kidung ini terdiri atas sembilan bait yang disertai laku dan fungsi pragmatisnya secara spesifik. Bagian pertama terdiri dari lima bait yang wajib diamalkan setiap malam. Bagian kedua, terdiri dari empat bait berupa petunjuk menyertai laku dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengamalkannya. Berikut contoh kutupan sebagian mantra Kidung Rumeksa Ing Wengi;

Kidung Rumeksa Ing Wengi

Ana kidung rumeksa in wengi
Tuguh ayu luputa in lelara
Lututa billahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluh tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan Sirna

Sakabehing lara pan samnya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sakehing braja luput
kadi kapuk tibaning wesi
sakehing wisa tawa
Sato galak lulut
kayu aeng lemah sangar
songing landhak guwaning wong lemah miring
myang pokiponing merak ...
Semoga Manfaat..
Setelah baca,.. mohon klik iklan dibawah ini yah..
Terima kasih,, Semoga Tuhan memberkahi kita..


Comments

Popular posts from this blog

Makna Kembang Setaman

MAKNA BUNGA " kembang staman "  dalam Sesaji Jawa  Kembang setaman versi Jawa" terdiri dari beberapa jenis bunga Yakni : Mawar, Melati, kanthil & Kenanga. Mengenal Berbagai Simbol Penghormatan Dalam falsafah hidup Jawa, berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur yang menurunkan adalah suatu ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup, tentunya akan sangat memahami apabila kesuksesan lahir dan batin tak akan bisa diraih apabila kita menjadi seorang anak atau generasi penerus yang durhaka kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya. Ungkapan rasa berbakti, tidak hanya diucapkan dalam ikrar doa-doa puji-pujian yang ditujukan kepada leluhurnya. Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji, yang dimaksud sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan lingku...

Negarakertagama (Sansekerta)

Negarakertagama   Kitab Negarakertagama ini terdiri dari 98 Pupuh (Bagian dalam penulisan menggunakan media daun lontar) dan terdiri dari 2 bagian yang sama-sama setiap bagiannya tersebut terdiri dari 49 Pupuh. Berikut bagian dari pupuh-pupuh tersebut :  Bagian I -7 Pupuh tentang Raja dan Keluarganya -9 Pupuh tentang Kota dan Wilayah Majapahit -23 Pupuh tentang Perjalanan Raja keliling ke Lumajang -10 Pupuh tentang Silsilah Raja Majapahit Bagian II -5 Pupuh tentang perburuan Raja di Hutan Nandawa -5 Pupuh tentang perjalana pulang Raja ke Majapahit -1 Pupuh tentang oleh-oleh yang dibawa pulang dari berbagai daerah yang dikunjung -10 Pupuh tentang perhatian kepada leluhur -2 Pupuh tentang kematian Gajah Mada -10 Pupuh tentang bangunan-bangunan suci di Jawa dan Bali -9 Pupuh tentang upacara berkala -7 Pupuh tentang pujangga pemuja raja(Tentang diri Prapanca) NEGARA KERTAGAMA PUPUH 1-7 [Pupuh 1]     om nathaya namostu te stutinin atpada ri pada bhatara nityaƧa,...

Filosofi Jawa

Orang Jawa pada jaman dahulu selalu mempergunakan FILOSOFI/ UNEN-ENEN untuk menata kehidupan sehari-hari. Dan menerapkannya, maka dari itulah orang Jawa kuno terlihat lebih SANTUN daripada orang Jawa sekarang yang sudah terpengaruh oleh MODERNISASI, yang lebih mengutamakan EGO  daan kesenangan diri sendiri karena hanya mempelajari ilmu di bangku sekolah saja. Mungkin perlu adanya pembelajaran pada anak muda sekarang tentang MAKNA DAN ARTI HIDUP yang sejati dengan bantuan Filosofi Jawa Kuno. Sering terdengar perkataan yang terlontar dari orang-orang Jawa tua untuk anak2 muda sekarang WONG JOWO NANGING ORA JAWANI  yang artinya Orang Jawa tetapi tidak mengerti dan memahami makna dan tatanan kebaikan .  Di bawah ini sedikit dari Filosofi Jawa yang mungkin bisa mengingatkan dan membuka hati kita semua tentang keindahan FILOSOFI JAWA  yang masih cocok untuk diterapkan di sepanjang jaman. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanp...