Serat Kekiyasaning Pangracutan
karya Sultan Agung Hanyakrakusuma
Serat Kekiyasaning Pangracutan adalah salah satu buah karya sastra Sultan Agung Raja Mataram (1613-1645) dan sumber penulisan Serat Wirid Hidayat Jati yang dikarang oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat Kekiyasaning Pangracutan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat Kekiyasaning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga di Surakarta R. Ng. Rongowarsito
SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN
Ini adalah keterangan Serat tentang Pangracutan yang telah disusun Baginda Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Panatagama di Mataram atas perkenan Beliau membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dengan para ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma Panatagama adalah:
I. Panembahan Purbaya
II. Panembahan Juminah
III. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
IV. Panembahan Juru Kithing
V. Pangeran Kadilangu
VI. Pangeran Kudus
VII. Pangeran Tembayat
VIII. Pangeran Kajuran
IX. Pangeran Wangga
X. Kyai Pengulu Ahmad Kategan
***
A. Berbagai kejadian pada jenasah
Adapun yang menjadi pembicaraan, Beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya.
a. Ada yang langsung membusuk
b. Ada jenasah yang masih utuh
c. Ada yang hilang bentuk jenasahnya? tidak berbentuk lagi
d. Ada yang meleleh menjadi cair
e. Ada yang menjadi mustika (permata)
f. Istimewanya ada yang menjadi hantu
g. Bahkan ada pula yang menjelma menjadi hewan
Masih banyak pula kejadian lainnya, bagaimana itu bisa terjadi, apa penyebabnya. Ini disebabkan adanya kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya pada waktu hidup berbuat dosa, setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu, masuk kedalam alam penasaran. Karena pada saat proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya pada satu jalan yaitu menghadapi maut, seperti yang akan diutarakan dibawah ini:
a) Pada waktu masih hidup, siapapun yang senang, tenggelam dalam kekayaan, kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenasahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat, sukmanya melayang gentayangan, diumpamakan bagai rama-rama tanpa mata. Sebaliknya bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir batin, hal itu sudah termasuk lampah, maka kejadiannya tidak demikian.
b) Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat puasa tetapi tidak mengenal batas waktunya, bila telah tiba saat kematiannya, maka mayatnya akan teronggok menjadi batu dan membuat tanah pekuburannya menjadi sangar, adapun rohnya akan menjadi Danyang Semorobumi. Walaupun begitu, bila pada masa hidupnya mempunyai sifat nerima, sabar, artinya makan, tidur, tidak bermewah-mewah, cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinanya tidak akan seperti diatas kejadian di akhir hidupnya.
c) Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur, tetapi tanpa batas waktu tertentu, pada umumnya disaat kematian kelak jenasahnya akan keluar dan menjadi berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela dan ada batas waktunya, yang demikian itu pada waktu meninggal tidak akan keliru jalannya.
d) Siapapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks, tanpa mengenal waktu, pada saat kematian kelak jenasahnya akan lenyap melayang, masuk kedalam alamnya jin setan dan roh halus lainnya, sukmanya sering menjelma dan menjadi semacam benalu atau menempel pada orang, seperti genderuwo dan sebagainya yang masih senang menggangu wanita, kalau berada dipohon yang besar, kalau pohon dipotong maka benalu tadi akan ikut mati. Walaupun begitu, bila pada masa masih hidup disertakan sifat jujur, tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semua itu bila tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya.
e) Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal, dapat menahan hawa nafsu, berani dalam lampah dan menjalani mati didalam hidupnya, misal mengharapkan agar jangan berbudi rendah, rona muka manis, tutur kata sopan, sabar dan sederhana, semuanya itu jangan sampai berlebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi, yang demikian itu maka keadaan jenasahnya akan mendapat kemulyaan sempurna dalam keadaan yang hakiki, kembali menyatu dengan Dzat Pangeran Yang Maha Agung, yang dapat menghukum, dapat menciptakan apa saja, ada bila menghendaki, datang menurut kemauannya.
Apalagi disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatu Kawula Gusti.
B. Berbagai jenis Kematian.
a) Mati Kisas adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.
b) Mati Kias adalah jenis kematian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan, misalnya menahan nafas atau mati karena melahirkan.
c) Mati Syahid adalah jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok dan disamun.
d) Mati Salih adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri, karena mendapat aib atau sangat bersedih.
e) Mati Tiwas adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, tersambar petir, tertimpa pohon, jatuh karena memanjat pohon, dan sebagainya.
f) Mati Apes adalah suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi, santet, tenung dari orang lain, yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada “Kematian yang Sempurna” atau keadaan Jati bahkan dekat sekali dengan alam penasaran.
Berkatalah Beliau: “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga?”
Dijawab oleh yang menghadap: “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga”.
Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendaat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya Beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut”.
Sebab-sebab inilah yang membuat dan mengakibatkan kejadian, seandainya dapat meracut seketika dalam keadaan terkejut atau tiba-tiba, teringat dengan apa yang diyakininya akan ilmunya maka akan dapat meracut seketika.
C. Wedaran Angracut Jasad.
Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Susuhunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar adalah sama, karena hanya mereka yang dapat meracut seketika dan tiba-tiba, seperti dibawah ini ;
“Badaningsun jasmani wus suci, ingsun gawa marang kaanan (kahanan) jati tanpa jalaran pati, bisa mulya sampurna waluya urip salawase, ana ing ‘alam donya ingsun urip tumekane ‘alam kaanan (kahanan) jati ingsun urip, saka kodrat iradatingsun, dadi sakciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsaningsun.”
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata (hidup yang sesungguhnya), tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, di dunia aku hidup, sampai dialam nyata (hidup yang sesungguhnya, akherat=Akhiring Rat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, terjadi apa yang kuciptakan, apa yang kuinginkan ada dan datang apa yang kukehendaki”.
karya Sultan Agung Hanyakrakusuma
Serat Kekiyasaning Pangracutan adalah salah satu buah karya sastra Sultan Agung Raja Mataram (1613-1645) dan sumber penulisan Serat Wirid Hidayat Jati yang dikarang oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat Kekiyasaning Pangracutan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat Kekiyasaning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga di Surakarta R. Ng. Rongowarsito
SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN
Ini adalah keterangan Serat tentang Pangracutan yang telah disusun Baginda Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Panatagama di Mataram atas perkenan Beliau membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dengan para ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma Panatagama adalah:
I. Panembahan Purbaya
II. Panembahan Juminah
III. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
IV. Panembahan Juru Kithing
V. Pangeran Kadilangu
VI. Pangeran Kudus
VII. Pangeran Tembayat
VIII. Pangeran Kajuran
IX. Pangeran Wangga
X. Kyai Pengulu Ahmad Kategan
***
A. Berbagai kejadian pada jenasah
Adapun yang menjadi pembicaraan, Beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya.
a. Ada yang langsung membusuk
b. Ada jenasah yang masih utuh
c. Ada yang hilang bentuk jenasahnya? tidak berbentuk lagi
d. Ada yang meleleh menjadi cair
e. Ada yang menjadi mustika (permata)
f. Istimewanya ada yang menjadi hantu
g. Bahkan ada pula yang menjelma menjadi hewan
Masih banyak pula kejadian lainnya, bagaimana itu bisa terjadi, apa penyebabnya. Ini disebabkan adanya kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya pada waktu hidup berbuat dosa, setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu, masuk kedalam alam penasaran. Karena pada saat proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya pada satu jalan yaitu menghadapi maut, seperti yang akan diutarakan dibawah ini:
a) Pada waktu masih hidup, siapapun yang senang, tenggelam dalam kekayaan, kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenasahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat, sukmanya melayang gentayangan, diumpamakan bagai rama-rama tanpa mata. Sebaliknya bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir batin, hal itu sudah termasuk lampah, maka kejadiannya tidak demikian.
b) Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat puasa tetapi tidak mengenal batas waktunya, bila telah tiba saat kematiannya, maka mayatnya akan teronggok menjadi batu dan membuat tanah pekuburannya menjadi sangar, adapun rohnya akan menjadi Danyang Semorobumi. Walaupun begitu, bila pada masa hidupnya mempunyai sifat nerima, sabar, artinya makan, tidur, tidak bermewah-mewah, cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinanya tidak akan seperti diatas kejadian di akhir hidupnya.
c) Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur, tetapi tanpa batas waktu tertentu, pada umumnya disaat kematian kelak jenasahnya akan keluar dan menjadi berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela dan ada batas waktunya, yang demikian itu pada waktu meninggal tidak akan keliru jalannya.
d) Siapapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks, tanpa mengenal waktu, pada saat kematian kelak jenasahnya akan lenyap melayang, masuk kedalam alamnya jin setan dan roh halus lainnya, sukmanya sering menjelma dan menjadi semacam benalu atau menempel pada orang, seperti genderuwo dan sebagainya yang masih senang menggangu wanita, kalau berada dipohon yang besar, kalau pohon dipotong maka benalu tadi akan ikut mati. Walaupun begitu, bila pada masa masih hidup disertakan sifat jujur, tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semua itu bila tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya.
e) Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal, dapat menahan hawa nafsu, berani dalam lampah dan menjalani mati didalam hidupnya, misal mengharapkan agar jangan berbudi rendah, rona muka manis, tutur kata sopan, sabar dan sederhana, semuanya itu jangan sampai berlebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi, yang demikian itu maka keadaan jenasahnya akan mendapat kemulyaan sempurna dalam keadaan yang hakiki, kembali menyatu dengan Dzat Pangeran Yang Maha Agung, yang dapat menghukum, dapat menciptakan apa saja, ada bila menghendaki, datang menurut kemauannya.
Apalagi disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatu Kawula Gusti.
B. Berbagai jenis Kematian.
a) Mati Kisas adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.
b) Mati Kias adalah jenis kematian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan, misalnya menahan nafas atau mati karena melahirkan.
c) Mati Syahid adalah jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok dan disamun.
d) Mati Salih adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri, karena mendapat aib atau sangat bersedih.
e) Mati Tiwas adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, tersambar petir, tertimpa pohon, jatuh karena memanjat pohon, dan sebagainya.
f) Mati Apes adalah suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi, santet, tenung dari orang lain, yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada “Kematian yang Sempurna” atau keadaan Jati bahkan dekat sekali dengan alam penasaran.
Berkatalah Beliau: “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga?”
Dijawab oleh yang menghadap: “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga”.
Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendaat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya Beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut”.
Sebab-sebab inilah yang membuat dan mengakibatkan kejadian, seandainya dapat meracut seketika dalam keadaan terkejut atau tiba-tiba, teringat dengan apa yang diyakininya akan ilmunya maka akan dapat meracut seketika.
C. Wedaran Angracut Jasad.
Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Susuhunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar adalah sama, karena hanya mereka yang dapat meracut seketika dan tiba-tiba, seperti dibawah ini ;
“Badaningsun jasmani wus suci, ingsun gawa marang kaanan (kahanan) jati tanpa jalaran pati, bisa mulya sampurna waluya urip salawase, ana ing ‘alam donya ingsun urip tumekane ‘alam kaanan (kahanan) jati ingsun urip, saka kodrat iradatingsun, dadi sakciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsaningsun.”
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata (hidup yang sesungguhnya), tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, di dunia aku hidup, sampai dialam nyata (hidup yang sesungguhnya, akherat=Akhiring Rat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, terjadi apa yang kuciptakan, apa yang kuinginkan ada dan datang apa yang kukehendaki”.
Comments
Post a Comment